Lompat ke isi

Surah Ali Imran

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Surah ke-3
آلِ عِمْرَان
Āli ʿImrān
Keluarga Imran
KlasifikasiMadaniyah
Nama lain (Arab)az-Zahrawan
(Dua yang Cemerlang)[1]
Juz3–4
Jumlah ruku20
Jumlah ayat200
Jumlah kata3.542
Jumlah huruf15.336
MuqaṭṭaʻātAlif, Lam, Mim
Manuskrip Sūrah āli ‘Imrān, ayat 66-78

Surah Āli Imrān (bahasa Arab: سورة آل عمران, translit. sūrah Āli ‘Imrān, har. 'Keluarga 'Imran')[2][3][4] adalah surah ke-3 dalam al-Qur'an. Surah ini terdiri dari 200 ayat dan termasuk surah Madaniyah.

Dinamakan Āli-'Imran karena memuat kisah keluarga Imran, ayah dari Maryam, yang di dalam kisah itu disebutkan kelahiran Nabi Isa, persamaan kejadiannya dengan Nabi Adam, kenabian dan beberapa mukjizatnya, serta disebut pula kelahiran Maryam binti Imran.

Berdasarkan Asbabunnuzul, surah ini diyakini sebagai surah Madaniyah kedua atau ketiga, karena banyak merujuk Perang Badar dan Uhud. Hampir seluruh ayatnya berasal dari 3 tahun Hijriah, meski sedikit dari ayat tersebut diwahyukan saat kedatangan delegasi Kristen Najran di Mubahalah, yang terjadi pada sekitar 10 tahun setelah Hijrah.[5]

Bersama Surah al-Baqarah, surah ini juga dinamakan Al-Zahrawaīn (الزَّهراوين), dua yang cemerlang. karena kedua surah ini menyingkapkan hal-hal yang menurut Al-Qur'an disembunyikan oleh para Ahli Kitab, seperti kejadian kelahiran Nabi Isa dan kedatangan Nabi Muhammad.[6] Pada ayat 7 terdapat keterangan tentang "Pedoman Cara Memahami isi Al-Kitab."

Keesaan dan kekuasaan Allah
  • Al-Qur'an dan kitab-kitab yang sebelumnya (1–9)
  • Ancaman Allah kepada orang-orang kafir dan pengaruh harta benda duniawi (10–17)
  • Pernyataan Allah tentang keesaan dan keadilan-Nya serta agama yang diridai-Nya (18–20)
  • Pembalasan terhadap orang-orang yang membunuh nabi (21–22)
  • Orang Yahudi berpaling dari hukum Allah (23–25)
  • Bukti-bukti kekuasaan dan kebenaran Allah (26–27)
  • Larangan berpihak kepada orang kafir (28–30)
  • Bukti cinta kepada Allah (31–32)
Keluarga Imran
  • Keutamaan keluarga Imran (33–44)
  • Kisah Al-Masih putra Maryam (45–63)
  • Ajakan kepada agama Tauhid: Millah Ibrahim (64–68)
  • Sikap ahli kitab terhadap orang Islam (69–73)
  • Keburukan orang Yahudi (75–78)
  • Seorang nabi tidak menyuruh manusia menyembah dirinya (79–80)
  • Janji para nabi kepada Allah tentang kenabian Muhammad (81–92)
Bantahan Allah terhadap pendapat ahli kitab yang keliru
  • Bantahan terhadap larangan orang Yahudi tentang makanan (93–95)
  • Bantahan terhadap pengakuan ahli kitab tentang rumah ibadah yang pertama (96–99)
  • Keharusan menjaga persatuan (100–109)
  • Kelebihan umat Islam dari umat yang lain (110–115)
  • Perumpamaan harta yang dinafkahkan orang-orang kafir (116–117)
  • Larangan mengambil orang Yahudi sebagai orang kepercayaan (118–120)
Kisah Perang Badar dan Uhud
  • Sabar dan tawakal kepada Allah, pangkal kemenangan (121–129)
  • Larangan riba dan perintah bertakwa (130–131)
  • Perintah taat kepada Allah dan Rasul serta sifat orang bertakwa (132–148)
  • Peringatan untuk waspada terhadap ajakan orang kafir (149–151)
  • Sebab umat Islam kalah saat Perang Uhud (152–155)
  • Menanamkan jiwa rela berkorban dan jihad (156–158)
  • Akhlak dan beberapa sifat Muhammad (159–164)
  • Beberapa sifat munafik (165–168)
  • Pahala orang mati syahid (169–175)
  • Ayat untuk menenteramkan hati Nabi Muhammad (176–179)
  • Kebakhilan dan dusta serta balasannya (180–189)
  • Faedah selalu ingat kepada Allah dan merenungkan ciptaan-Nya (190–195)
  • Ketenangan sementara bagi orang kafir dan kebahagiaan abadi bagi orang-orang beriman (196–200)

Keluarga Imran

[sunting | sunting sumber]

Nama Āli ʿImrān berasal dari frasa yang muncul dalam ayat 33 surah ini.[7]

Dalam tradisi Kristen, Yoakim, yang juga disebut Imran, adalah suami Anna serta ayah dari Maryam.

Menurut penerjemah Irak, N.J. Dawood, al-Qur'an membingungkan antara Maryam ibunda Isa Al-Masih dan Miryam saudara perempuan Musa/Harun, dengan menyatakan ayah Maryam adalah Imran, yang merupakan versi Arab dari Amram, yang dalam Keluaran 6:20, ditunjukkan sebagai ayah Musa.[8] Dawood, dalam catatan kaki Surah 19:28, menyebut Maryam sebagai "Saudara Perempuan Harun", dan Harun adalah saudara dari Miryam saudara perempuan Musa, juga menganggap bahwa: "Miryam, saudara perempuan Harun, dan Maryam, ibu Isa menurut Al-Qur'an, adalah orang yang sama."[9] Meski studi Islam pada awal abad ke-20 cenderung berfokus pada perbandingan silsilah, dalam studi Islam yang lebih baru dari abad ke-21 konsensus umum adalah, menurut Angelika Neuwirth, Nicolai Sinai, dan Michael Marx, bahwa Al-Qur'an tidak memuat kesalahan genealogis tetapi menggunakan tipologi.[10] Hal ini, mengikuti kesimpulan Wensinck, didukung oleh kiasan Al-Qur'an dan tradisi Islam:

Maryam disebut sebagai saudara perempuan Harun, dan penggunaan ketiga nama ini 'Imrān, Hārūn, dan Maryam telah menimbulkan anggapan bahwa Al-Qur'an tidak jelas membedakan antara "dua Maryam" dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru... Tidak perlu berasumsi bahwa hubungan kekerabatan ini harus ditafsirkan dalam istilah modern. Kata "saudara perempuan" dan "anak perempuan", seperti halnya bentuk laki-lakinya, dalam penggunaan bahasa Arab, dapat menunjukkan hubungan kekerabatan, keturunan, atau kedekatan spiritual yang lebih luas... Tradisi Muslim telah muncul delapan belas abad antara Amram dalam Alkitab dan bapak Maryam.[11][12]

Demikian pula, Stowasser menyimpulkan bahwa "membandingkan Maryam ibu Isa dengan Miryam saudara perempuan Harun dalam Taurat sepenuhnya salah dan bertentangan dengan hadis shahih dan teks Al-Qur'an seperti yang telah kami tetapkan".[13][14]

Tradisi Muslim sepakat bahwa Miryam dan Maryam adalah dua orang yang berbeda menurut masa kehidupannya, dan "Harun saudara Maryam" adalah orang yang berbeda dengan Nabi Harun yang hidup sezaman dengan Musa. Hadis berikut menunjukkan:

Diriwayatkan dari Mughirah bin Syu'bah: Ketika aku datang ke Najran, para penduduknya (yang Nasrani) bertanya kepadaku, "Engkau membacakan ayat, 'Wahai saudara perempuan Harun,' (19:28) tetapi Musa lahir jauh berabad-abad sebelum Isa." Ketika aku pulang menghadap Rasulullah (ﷺ), aku bertanya kepadanya tentang hal itu dan beliau berkata, "Sesungguhnya mereka akan menamai orang-orang dengan nama para nabi dan orang-orang saleh yang hidup sebelum mereka."

— Sahih Muslim 2135

Ibnu Katsir (w. 1373) dalam tafsirnya, menjelaskan terkait tradisi Arab yang menyebut seseorang sebagai saudara laki-laki atau perempuan dari nenek moyang mereka yang terkenal:

“Hal ini seperti mengatakan kepada seseorang dari bani Tamim: Wahai saudara Tamim, atau kepada seseorang dari bani Mudhar: Wahai saudara Mudhar.”

— Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir 19:28

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Departemen Agama RI.2007.Al-Qur'an dan Terjemahannya Al-Jumanatul 'Ali Seuntai Mutiara Yang Maha Luhur.Bandung:J-Art
  2. ^ Kata Āl dalam kalimat Suratu Āli 'Imrān adalah alif mamdudah (dibaca panjang) bukan 'ain/ bukan pula alif lam ma'rifat dalam ilmu nahwu dalam bentuk jumlah ismiyyah (kalimat yang tersusun dari kata benda) terdiri dari mudhaf (سورة) dan mudhaf ilaih (آل) mudhaf ilaih tsani (عمران) dalam bahasa Indonesia mirip kata majemuk
  3. ^ Ibn Kathir (d.1373). "Tafsir Ibn Kathir (English): Surah Ale Imran". Quran 4 U. Tafsir. Diakses tanggal 22 December 2019. 
  4. ^ P. Bearman; Th. Bianquis; C.E. Bosworth; E. van Donzel; W.P. Heinrichs, ed. (2012). "Āl ʿImrān". Encyclopaedia of Islam (edisi ke-2nd). Brill. doi:10.1163/2214-871X_ei1_SIM_0553. (perlu berlangganan)
  5. ^ Maududi, Abdul Alaa. Tafhim-ul-Quran. 
  6. ^ Al-Suyuthi, Al-Itqan Fi 'Ulumil Qur'an, معرفة أسمائه وأسماء سوره, فصل في إيراد أسماء متعددة لبعض السور
  7. ^ M.A.S. Abdel Haleem (2005). The Qur'an. Oxford University Press. hlm. 34. ISBN 978-0-19-157407-8 – via Oxford Islamic Studies Online. 
  8. ^ Dawood, N J (1956). The Koran. London: Penguin Books. hlm. 53. ISBN 9780141393841. 
  9. ^ Dawood, N J (1956). The Koran. London: Penguin Books. hlm. 306. ISBN 9780141393841. 
  10. ^ Michael Marx: Glimpses of a Mariology in the Qur'an; in: A. Neuwirth, Nicolai Sinai, Michael Marx (Hrsg.): The Qur'ān in Context. Historical and Literary Investigations into the Qur'ānic Milieu. Leiden 2011. pp. 533–563. hlm. 533–563. 
  11. ^ Arent Jan Wensinck: Maryam. In: A. J. Wensinck, J. H. Kramers (Hrsg.): Handwörterbuch des Islam. pp. 421–423. 
  12. ^ J. Wensinck (Penelope Johnstone), "Maryam" in C. E. Bosworth, E. van Donzel, W. P. Heinrichs & Ch. Pellat (Eds.), The Encyclopaedia Of Islam (New Edition), 1991, Volume VI, p. 630. 
  13. ^ Stowasser, B. F. (1994). Women In The Qur'an, Traditions, And Interpretation. New York: Oxford University Press. hlm. 393–394. 
  14. ^ Schleifer, Aliah (1998). Mary The Blessed Virgin Of Islam, op. cit. hlm. 36. 

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]


Surah Sebelumnya:
Surah Al-Baqarah
Al-Qur'an Surah Berikutnya:
Surah An-Nisa'
Surah 3